Secarik Ungkapan Keberadaan Sawah di Desa Sepang yang Semakin “Mengerucut”

07 Oktober 2018 20:41:05 WITA

Tulisan ini dibuat berdasarkan penuturan Kelian Subak Sawah Sepang dan beberapa lansia yang ditemui penulis. Dari penuturan tersebut penulis merangkai beberapa opini yang semata-mata untuk mengingatkan kembali tentang keberadaan Subak Sawah serta lahan persawahan di Desa Sepang.

Subak Sawah adalah sebuah organisasi yang dimiliki oleh masyarakat petani di Bali yang khusus mengatur tentang manajemen atau sistem pengairan/irigasi sawah secara tradisional, keberadaan Subak merupakan manifestasi dari filosofi/konsep Tri Hita Karana.

Dengan filosofi dan kearifan lokalnya, keberadaan Subak Sawah dapat menjadi salah satu daya tarik wisatawan untuk datang ke Bali. Tampilan view yang menarik, serta tata kelola masyarakat Hindu Bali mampu memberikan suguhan tersendiri yang kental dengan Budaya Bali.

Namun demikian eksistensi persawahan tidak sepenuhnya berjalan dengan mulus. Berbagai tantangan zaman maupun tantangan alam kerap menjadi sebuah problematika di era modern ini.

Subak Sawah Sepang salah satunya, kawasan persawahan yang ada di tiga Banjar Dinas se-Desa Sepang ini kini mulai memprihatinkan. Keberadaannya seolah mulai tergerus, alih fungsi lahan dan ketersediaan air merupakan salah satu kendala utama yang dihadapi dalam beberapa tahun belakangan.

Kelian Subak Sawah Sepang I Ketut Guwan TK membenarkan tentang fenomena tersebut. Ia menjelaskan ada beberapa faktor yang mempengaruhi mengurangnya lahan sawah di Desa Sepang. Pertama adalah ketersediaan air yang menipis seiring dengan rusaknya daerah hutan sumber air yang menjadi hulu beberapa sungai di Desa Sepang. Kedua, mengenai alih fungsi lahan pertanian yang kini keberadaannya mulai tergeser menjadi lahan kering dengan komoditi kopi dan kakao. Ketiga, adalah bencana alam banjir bandang yang terjadi tahun 2011 silam yang telah merusak sistem irigasi dan lahan persawahan. Dalam peristiwa tersebut, setidaknya ada 10 hektar sawah mengalami kerusakan baik itu dipenuhi pasir maupun longsor dan dihanyutkan arus.

Pria berusia 80 tahun itupun menceritakan bagaimana dahulu sekitar tahun 1986, Desa Sepang merupakan salah satu desa yang sangat indah dengan pemandangan sawahnya yang luas. Keberadaan lahan persawahan yang memanjang di bibir Sungai Yeh Kunyit di Banjar Dinas Belulang yang terletak di Desa Sepang bagian utara begitu mempesona. Hamparan lahan persawahan membentang hingga ke selatan mengikuti lekukan Sungai Pulukan di Banjar Dinas Sepang hingga ke perbatasan Desa Sepang Kelod. Di Banjar Dinas Kembangrijasa sendiri, dahulunya hamparan persawahan juga memanjang dari utara ke selatan mengikuti alur Sungai Melesung, suasana indah yang kiranya sulit untuk dinikmati generasi milenial belakangan ini.

Selanjutnya Kelian Subak Sawah yang telah menjabat berpuluh-puluh tahun ini pun prihatin tentang perkembangan lahan persawahan yang terjadi setelahnya. Tahun 2000-an merupakan titik balik dari keberadaan sawah di Desa Sepang, keberadaannya mulai tergerus seolah ditinggalkan oleh para petani yang lebih memilih bercocok tanam komoditi kopi. Yang lebih memprihatinkan adalah tindakan dari orang-orang yang tidak bertanggungjawab yang telah merusak hutan sebagai sumber mata air untuk mengaliri sawah-sawah di Desa Sepang.

Tahun 2010-an keatas, giat per-Subak-an sebenarnya telah mendapatkan angin segar. Berbagai bantuan yang dikucurkan oleh pemerintah melalui Dinas Pertanian yang kemudian dikelola oleh Subak untuk membuat irigasi dan pengadaan mesin traktor pun menjadi salah satu opsi untuk tetap mempertahankan Subak Sawah ini. Namun demikian, menurut I Ketut Guwan TK bahwa hal itu semua tidak serta merta dapat merubah keadaan. Puluhan hektar sawah telah dialihfungsikan, dan para petani sudah merasakan kenyamanan dengan mengklaim penghasilan perkebunan lebih besar dibandingkan hasil tanaman padi. Belum lagi tentang sumber air yang masih belum teratasi.

Dalam pikirannya, Kelian Subak yang merupakan salah satu sesepuh Desa Sepang ini terbesit suatu harapan dengan dimantapkannya sistem Hutan Binaan oleh Dinas Kehutanan beberapa waktu lalu. Ia berharap agar dengan sistem ini setidaknya mampu untuk mempertahankan pohon-pohon besar yang ada di hutan yang kemudian dapat menampung persediaan air pada musim kemarau.

Dengan memperhatikan dan mencoba memahami cerita Kelian Subak Sepang tersebut serta menggali informasi tentang Subak dan persawahan dari beberapa lansia yang dahulu pernah bergelut dengan persawahan, penulis beropini bahwa bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun mendatang keberadaan lahan persawahan akan sirna di Desa Sepang. Anak-anak tidak lagi bisa bermain lumpur di tengah sawah, menemani orang tuanya menghalau burung atau sekedar bermain petak umpet dibalik rimbunnya tanaman padi yang kian menguning. Tidak akan terdengar lagi sorak sorai para petani saat musim menghalau burung yang dengan lengkingan suaranya berbaur bersama kicauan burung pipit yang berhamburan diatas lahan persawahan. Ataukah tidak akan nampak lagi degup hentakan kaki kerbau atau sapi yang dengannya para petani biasa memanfaatkan tenaganya yang besar untuk membantu membajak sawah. Dan tidak akan terdengar lagi bunyi-bunyian yang riuh namun menggembirakan dari kincir-kincir angin kecil ditiap sudut persawahan. Bahkan tidak akan ada lagi lumbung-lumbung padi di beberapa pekarangan rumah tua yang penuh sesak terisi butiran padi.

Tentunya, penulis tidak mengharapkan hal tersebut terjadi. Sebuah warisan turun temurun mestinya dapat dijaga dengan  rapi dari generasi ke genarasi. Bukan bermaksud untuk melawan peradaban zaman, namun lebih kepada mempertahankan filosofi yang terkandung didalamnya.

Dalam angan penulis membayangkan, masa-masa dimana mata dimanjakan oleh pemandangan persawahan yang membentang dan dengannya padi merunduk menguning disepanjang pandangan. Juga tentang bayangan tata cara spiritual dari seluruh rangkaian pengolahan sawah, mulai dari pembibitan yang memperhatikan hitungan Sasih, Wuku dan Dewasa Ayu hingga musim panen yang diawali dengan upacara “Mlayagin”. Semua itu terlintas jelas dalam bayangan, namun sungguh menyayat hati melihat keberadaan lahan persawahan di Desa Sepang yang kian “Mengerucut”.

 

Penulis : I Gede Prawira Santosa

Sumber Informasi : Kelian Subak Sawah Sepang I Ketut Guwan TK, Lansia Mantan Petani Sawah (I Nyoman Kerto, Nyoman Wiarto, Made Pasar)

 

Komentar atas Secarik Ungkapan Keberadaan Sawah di Desa Sepang yang Semakin “Mengerucut”

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Komentar
 

Layanan Mandiri


Silakan datang / hubungi perangkat Desa untuk mendapatkan kode PIN Anda.

Masukkan NIK dan PIN!

Komentar Terkini

Media Sosial

Facebook

Statistik Kunjungan

Hari ini
Kemarin
Jumlah Pengunjung

Facebook Resmi Pemdes Sepang

Mohon Bantu Kami, Like This !!!

×

Lokasi Sepang

tampilkan dalam peta lebih besar